Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ta’aruf masa begitu? Kurang lebih seperti itu ungkapan sebagian rekan yang menyayangkan proses ta’aruf rekannya yang dinilai kurang islami. Bisa jadi karena rekan tersebut belum tahu ta’aruf yang islami itu bagaimana, atau mungkin saja sudah tahu tetapi belum bisa menjalaninya dengan baik dan benar sehingga terpeleset ke aktivitas ta’aruf yang tak islami.
Seiring digemakannya metode perkenalan islami dalam pencarian jodoh, istilah ta’aruf semakin dikenal, meskipun lebih tepat bila dipakai istilah ta’aruf pranikah. Penggunaan istilah “ta’aruf” dikesankan pada aktivitas perkenalan yang islami sebagai oposisi dari istilah “pacaran” yang dikesankan pada aktivitas perkenalan yang tidak islami.
Berikut ini saya rangkumkan beberapa prinsip ta’aruf yang bisa dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ta’aruf, yang erat kaitannya dengan tema khitbah/lamaran dan tema pernikahan yang merupakan fase lanjutan setelah ta’aruf, serta interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam keseharian.
1. Ta’aruf bagi yang mampu menikah
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka menikahlah! Karena, menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih dapat memelihara kemaluan. Dan barangsiapa tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai bagi syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas berisi anjuran untuk menyegerakan menikah bila memang sudah mampu menikah, sehingga tidak ada proses ta’aruf yang perlu dijalani bagi yang belum mampu menikah. Bagi yang belum mampu menikah maka dianjurkan untuk banyak berpuasa, belum saatnya berta’aruf.
MAMPU menikah di sini sama artinya dengan BISA menikah. BISA menikah bukan sekedar sudah SIAP menikah, tapi juga sudah BOLEH menikah. Sudah siap menikah, tapi belum boleh menikah tentunya proses ta’aruf belum perlu dijalani. Ada wali bagi seorang perempuan yang perlu dimintakan izinnya untuk menikahkan si anak perempuan, demikian juga restu dari orang tua bagi seorang laki-laki yang perlu diikhtiarkan meskipun tidak ada wali bagi seorang laki-laki.
Pastikan izin dan restu menikah sudah didapat dari wali/orang tua sebelum berikhtiar ta’aruf, selain kesiapan menikah yang sudah anda yakini. Pastikan juga bahwa izin menikah ini adalah ‘izin menikah segera’ setelah bertemu calon pasangan yang cocok, bukan izin menikah setelah nanti lulus kuliah atau izin menikah setelah nanti pekerjaannya mapan yang jangka waktunya sekian tahun ke depan.
Dari pengalaman mendampingi beberapa proses ta’aruf, prosesnya cukup dijalani selama 2-3 bulan saja, itupun hampir semuanya belum pernah saling kenal sama sekali. Kalau si 'target ta'aruf' itu tetangga sendiri, rekan kerja, atau sahabat satu komunitas yang sudah lama dikenal tentunya perlu waktu ta'aruf yang lebih singkat lagi.
Dari perkiraan masa ta’aruf ditambah masa persiapan pernikahan, bisa ditarik mundur kapan sekiranya waktu yang anda pilih untuk mulai berikhtiar ta’aruf. Mungkin cukup di kisaran 6 bulanan saja, tidak lebih dari satu tahun. Kalau lebih dari satu tahun ke depan sebaiknya nanti-nanti saja anda mulai berikhtiar ta’aruf, isi hari-hari anda dengan memperbanyak ibadah khususnya berpuasa untuk lebih membentengi diri dari angan-angan yang belum saatnya.
Bila anda belum siap ta’aruf namun ingin ‘belajar ta’aruf’ agar bila tiba saatnya nanti sudah siap, anda bisa 'berguru' pada saudara atau rekan terdekat yang pernah menjalani proses ta’aruf sebelumnya. Bisa juga dengan mengambil referensi artikel-artikel seputar ta’aruf yang cukup banyak beredar dari beberapa pakar dan spesialis ta’aruf. Anda juga bisa ikut seminar pranikah dan kuliah pranikah yang diadakan lembaga islam yang tepercaya untuk persiapan ta’aruf. Insya Allah hal-hal tersebut bisa menjadi pembelajaran anda seputar perta’arufan, tanpa harus menjadi pelaku ta’aruf terlebih dulu.
2. Kriteria agama dan akhlak dalam pertimbangan ta’aruf
“... Wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar