Selasa, 24 November 2015

Masjid Raya Medan.

Masjid Raya Medan atau Masjid Raya Al Mashun merupakan sebuah masjid yang terletak di Medan, Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909. Pada awal pendiriannya, masjid ini menyatu dengan kompleks istana. Gaya arsitekturnya khas Timur Tengah, India dan Spanyol. Masjid ini berbentuk segi delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, utara dan barat. Masjid Raya Medan ini merupakan saksi sejarah kehebatan Suku Melayu sang pemilik dari Kesultanan Deli (Kota Medan).

Sejarah pembangunan Sunting

Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan yang ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. Keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

Arsitektural Sunting

Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun dirancang oleh arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Perancis.


Interior Masjid Raya Medan
JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.[1]

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar