Senin, 23 November 2015

Masjid Agung Palembang

Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (tahun 1724-1758). Masjid Agung Palembang bagian dari peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, dan menjadi salah satu masjid tertua di Kota Palembang. Masjid ini berada di utara Istana Kesultanan Palembang, di belakang Benteng Kuto Besak yang berdekatan dengan aliran sungai Musi. Secara administratif, berada di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang.
Masjid Agung Palembang mulai dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Pembangunan berlangsung selama 10 tahun dan resmi digunakan sebagai tempat peribadatan umat muslim Palembang pada tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Masjid Agung 1753 Awalnya masjid ini bernama Masjid Sultan, dan belum memiliki menara. Bentuk masjid hampir bujursangkar, memiliki ukuran 30 meter x 36 meter. Dengan luas mencapai 1080 meter persegi, konon, Masjid Sultan merupakan masjid terbesar di nusantara yang mampu menampung 1200 jema’ah.
Masjid Sultan dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Konsep bangunan masjid memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa dan Cina. Gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak. Atap masjid berbentuk limas, terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap terdapat jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap sisi limas memiliki 13 jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini merupakan bentuk atap kelenteng Cina. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari Eropa.
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar yang mengelilingi bangunan menara.
Pada tahun 1819 dan 1821 dilakukan pemugaran masjid akibat peperangan besar yang berlangsung selama lima hari berturut-turut. Perbaikan masjid dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Atap genteng menara masjid diganti atap sirap. Tinggi menara ditambahkan dengan adanya beranda melingkar. Usia satu abad Masjid Sultan, yakni pada tahun 1848, dilakukan perluasan bangunan oleh pemerintah Hindia Belanda. Gaya tradisional Gerbang Utama masjid diubah menjadi Doric style. Pada tahun 1879, serambi Gerbang Utama masjid diperluas dengan tambahan tiang beton bulat. Rupa serambi Gerbang Utama menyerupai pendopo, namun bergaya kolonial.
Perluasan pertama Masjid Sultan dilaksanakan pada tahun 1897 oleh Pangeran Nata Agama Karta Manggala Mustofa Ibnu Raden Kamaluddin. Lahan yang dijadikan areal kawasan masjid merupakan wakaf dari Sayyid Umar bin Muhammad Assegaf Althoha dan Sayyid Achmad bin Syech Shahab. Kemudian nama Masjid Sultan diubah menjadi Masjid Agung.
Perbaikan dan perluasan masjid dilakukan kembali pada tahun 1893. Pada tahun 1916 bangunan menara masjid disempurnakan. Kemudian pada tahun 1930, dilakukan perubahan struktur pilar masjid. Yakni menambah jarak pilar dengan atap menjadi 4 meter. Pada kurun tahun 1966-1969 dibangun lantai kedua. Luas mesjid menjadi 5.520 meter persegi dengan daya tampung 7.750 jema’ah. Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina. Menara baru ini setinggi 45 meter, mendampingi menara asli bergaya Cina. Renovasi Masjid Agung diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.
Sejak tahun 2000, Masjid Agung dilakukan renovasi kembali, dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 bertepatan dengan peresmiaannya oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri. Masjid Agung Palembang yang megah dan berdiri kokoh kini mampu menampung 9000 jama’ah. Tempat Pusat Kajian Islam di Palembang Arsitektur Masjid Agung dan masjid tua lainnya di Palembang secara simbolik memiliki nilai filosofis yang tinggi. Undakan pelataran masjid dan tingkatan atap yang berjumlah tiga memberi makna perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hamka (1961) menafsirkan atap tumpang sebagai berikut: Tingkat pertama melambangkan Syariah serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua melambangkan Thariqat yaitu jalan untuk mencapai ridlo Allah SWT. Atap tingkat ke tiga melambangkan Hakikat, yaitu ruh atau hakekat amal perbuatan seseorang. Sedangkan Puncak (Mustoko) melambangkan Ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat kajian Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama besar. Syekh Abdus Shamad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah, adalah beberapa ulama yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Agung. Peran para ulama ini sangat besar dalam mengembangkan agama Islam di wilayah Kesultanan Palembang. Konsep pengajaran Islam diturunkan kedalam lingkup amal (praktik) dan ilmu (wacana), sehingga mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat muslim Palembang.
Masjid Agung Palembang menyimpan kenangan tak terlupakan sepanjang masa. Ia menjadi saksi perjuangan rakyat Palembang pada pertempuran lima hari melawan Belanda di pusat kota. Pertempuran bermula pada tanggal 1 Januari 1947. Pejuang Republik awalnya menyerang RS Charitas. Keesokan harinya Belanda membalas serangan dengan kekuatan penuh menuju pusat komando pejuang Republik yang berada di Masjid Agung Palembang. Batalyon Geni merapatkan barisan bersama berbagai tokoh masyarakat demi mempertahankan masjid dari kehancuran. Pejuang Republik berhasil bertahan, tentara Belanda mundur akibat kekurangan pasokan. Pada saat yang bersamaan bantuan pasukan Belanda yang datang dari Talangbetutu berhasil dihadang oleh pasukan Republik dibawah Letnan Satu Wahid Luddien.
Belanda melancarkan kembali serangan pada hari ketiga. Kekuatan mereka lebih besar, mendapat dukungan serangan udara dari pesawat – pesawat Mustang untuk meluluhlantakkan kota Palembang. Namun upaya mereka gagal, kememangan kembali diraih setelah pasukan Ki.III/34 berhasil menenggelamkan satu kapal Belanda yang penuh dengan mesiu, meskipun harus menelan korban banyak akibat bombardir serangan udara pesawat Mustang Belanda.

Pada hari keempat, bantuan pasukan Republik yang akan bergabung di Masjid Agung Palembang dihadang pasukan Belanda di wilayah sekitar Simpang Empat BPM, Sekanak dan Kantor Karesidenan. Pertempuran berlanjut hingga hari kelima. Kekuatan Belanda langsung menuju jantung pertahanan pasukan Republik, Masjid Agung Palembang. Pertempuran sengit terjadi, pasukan Mobrig pimpinan Inspektur Wagiman dengan bantuan Batalyon Geni mampu mempertahankan garis pertahanan sehingga pasukan Belanda gagal merangsek. Setelah melewati lima hari pertempuran yang melelahkan, pihak Belanda menyatakan mundur. Disepakati perjanjian Cease Fire oleh kedua belak pihak. Perjanjian ini menandakan berakhirnya pendudukan Belanda dari wilayah kota Palembang.
Masjid ini menjadi perlambang sebuah semangat perjuangan rakyat dalam mempertahanan hak hidup, hak menentukan nasib sendiri dan hak merdeka sebagai manusia seutuhnya. Seiring gema adzan yang mengalun di antara menara-menara besarnya, masjid ini tetap kokoh menjaga umat muslim dari sebuah ketertindasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar